Belakangan ini dunia perbukuan Islam
di Indonesia disemarakkan oleh kemunculan buku-buku yang mengambil tema hafalan
Alquran. Bahkan ada sebuah buku yang judulnya sangat sensasional, 'Sebulan
Hafal Al-Qur’an'. Seiring dengan itu, semakin banyak pula sekolah Islam yang
memberikan penekanan terhadap tahfizhul Qur’an, khususnya sekolah-sekolah yang
berlabel “terpadu”. Belum lagi pesantren-pesantren yang juga memberikan
konsentrasi yang sama; tahfizhul Qur’an.
Dari sekian banyak buku yang mengusung tema ini, ada satu di antaranya yang
sangat menarik, yaitu buku yang berjudul 'Balita pun Hafal Al-Qur’an', karya
Salafuddin Abu Sayyid, seorang pengajar di STIQ (Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur’an)
Isy Karima, Solo.
Buku yang sarat dengan inspirasi dan motivasi ini menyuguhkan kepada para
pembaca tentang: bagaimana kisah anak belia yang akhirnya berhasil menjadi
pengahafal Alquran (hafizh); bagaimana kisah keberhasilan para kakek dan nenek
menjadi penghafal Alquran; keutamaan-keutamaan pengahafal Alquran serta
berbagai keajaiban yang dialami oleh mereka.
Di antara sosok “para penjaga wahyu” yang diulas dalam buku ini adalah Tabarak
dan Yazid Tamamuddin, kakak beradik yang tinggal di Jeddah, yang berhasil
menjadi hafizh ketika masing-masing dari keduanya baru berusia 4,5 tahun (h.
1-17). Syaikh Dr Abdullah Bashfar, seorang qari’ ternama dan Ketua Umum Lembaga
Internasional untuk Tahfizhul Qur’anil Karim, yang mewisuda Tabarak, setelah
melalui ujian dan lulus menjadi hafizh paling belia. Pada tahun berikutnya
giliran sang adik kandungnya, Yazid Tamamuddin, yang diwisuda sebagai hafizh
dalam usia yang sama dengan kakaknya. Keduanya pun digelari sebagai “hafizh
paling belia” sedunia versi lembaga tersebut. Gelar sebelumnya dipegang oleh
Muhammad Ayyub dari Tajikistan, yang menjadi hafizh dan diwisuda saat berusia 5
tahun serta menjadi juara dalam musabaqah (lomba) hafalan Alquran
sedunia.
Bukan hanya sosok Tabarak dan Yazid yang dibicarakan, tapi masih ada lagi
sekian figur lainnya yang ditampilkan. Misalnya Abdullah Fadhil Asy-Syaqaq, si
hafizh belia yang sudah dianugerahi gelar doktoral oleh The Islamic
Civilization Open University Lebanon ketika baru berusia 7 tahun. Juga
Abdurrahman Al-Fiqqi, seorang anak tuna netra yang hafizh Alquran dengan cara
mendengar, hingga kisah Abdurrahman Farih, bocah berusia 3,5 tahun dari
Aljazair yang luar biasa. Lika-liku para bocah brilian itu ditampilkan dengan
begitu menarik dalam buku ini, yang bisa membuat kita tertegun dan terkagum.
Satu hal yang disayangkan dari buku ini adalah tidak adanya pembahasan secara
spesifik -dalam sebuah bab- tentang metode dan langkah-langkah praktis dalam
mencetak hafizh belia; bagaimana kiat jitu dalam mencetak anak dengan usia
sebelia itu yang akhirnya mampu menghafal 30 juz Alquran. Sekalipun melaui
kisah yang dibawakan itu tersirat beberapa hal yang menjadi “rahasia” sukses
dalam mencetak hafizh belia.
Namun tampaknya yang memang menjadi “pesan” mendasar dari buku ini adalah
motivasi dan inspirasi, yang menjadi tujuan dari penulis. Yaitu agar pembaca
senantiasa cinta dan akrab dengan Alquran, lebih-lebih di bulan Ramadan seperti
sekarang ini. Kecintaan itu di antaranya diwujudkan dalam bentuk tadarus dan
bahkan menghafal Alquran. Sebab, penulis juga menampilkan kisah para kakek dan
nenek yang memiliki semangat tinggi untuk menghafal Alquran, sedangkan mereka
baru memulai program menghafal itu ketika mereka sudah berstatus kakek atau
bahkan sudah lansia (lanjut usia), hingga berumur 70-an tahun ke atas. Dan,
dengan semangat yang luar biasa, dan karena taufik dari Allah, mereka akhirnya
berhasil menjadi penghafal Alquran. Alhasil, jika di bagian awal buku ini
ditampilkan sosok para hafizh paling belia, maka di bagian berikutnya
dikisahkan tentang para hafizh lansia.
Hal menarik lainnya yang dibawakan oleh penulis adalah kisah-kisah unik dan
ajaib dari para penghafal Alquran. Anda mungkin akan terkesima, terharu, dan
tercerahkan. Ada banyak kisah yang mungkin menurut banyak orang mustahil
kebenarannya, namun kisah yang dipaparkan di buku ini sungguh nyata. Di
antaranya adalah kisah seorang yang terserang tumor otak (h.
107-113).
Tentu saja sangat kecil harapan baginya untuk bisa terus bertahan hidup. Ia pun
memanfaatkan sisa-sisa umurnya yang diperkirakan tidak bertahan lama untuk
menghafal Alquran. Dan, ketika ia berhasil menyelesaikan hafalan 30 juz
Alquran, tumor otaknya hilang. Kisah di atas hanyalah salah satu kisah dari
beberapa kisah ajaib dan unik dari bagian ketiga buku ini. Di antara
kisah-kisah ajaib dan unik lainnya, yang merupakan karamah para huffazh,
adalah: mulut menyebarkan aroma wangi kasturi, menangis karena lupa letak satu
ayat, membaca Alquran saat tertidur, dan mereka yang memiliki kecepatan luar
biasa dalam menghafal Alquran, serta kisah wanita yang selama 40 tahun
berbicara menggunakan ayat Alquran.
Dari aspek lain, penulis juga menunjukkan kenyataan bahwa anak-anak yang aktif
menghafal Alquran dan menonjol dalam hal hafalan Alquran, adalah juga mereka
yang unggul prestasi di sekolahnya (h. 66-70). Mereka yang disiplin dalam
menghafal Alquran adalah mereka yang juga disiplin dalam segala hal, termasuk
dalam hal belajar dan mendalami mata pelajaran sekolah. Wajar jika ternyata
mereka yang meraih prestasi akademik adalah yang berprestasi pula dalam hal
hafalan Alquran.
Buku ini terasa akan lebih nikmat bila dibaca di bulan puasa seperti sekarang
ini, di mana suasana batin kita sangat konsen terhadap segala yang bernuansa
ibadah, terutama tadarus atau mambaca Alquran. Apalagi buku ini lebih kental
dengan nuansa motivasi -meski “terselubung” dan jauh dari kesan menggurui-.
Selamat berpuasa dan bertadarus Alquran.
Berminat dengan buku ini? hubungi
085356833852
(Sumber: http://ramadan.detik.com/read/2012/07/29/161153/1977691/975/balita-pun-bisa-hafal-alquran).